Erna Laman

Senin, 01 Desember 2014

Surat Pengunduran Diri



Jakarta, 15 Mei 2012,
Hal       : Surat Pengunduran Diri
Kepada YTH.:
Koordinator Internasional CeriA
Bpk. Henk Oostra
Di
Netherland

Salam dalam kasih Tuhan Yesus,
Sangat senang dan sukacitanya oleh karena Tuhan telah mengijinkan saya untuk mengenal CeriA, bahkan terlibat dalam proyek penyusunan buku pedoman. Sebuah anugerah yang luar biasa yang Tuhan berikan kepada saya.
Saya juga sangat senang bisa bertemu dan bersahabat dengan seorang yang pintar, dan mencintai pekerjaan Tuhan di Indonesia, yaitu: Henk Oostra.

Dengan sangat berat saya harus memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam pengurus CeriA Indonesia oleh karena beberapa alasan sebagai berikut:
1.      Tugas saya untuk memfasilitasi antara CeriA dengan SETIA telah selesai, oleh karena sekarang sudah ada pengurus CeriA yang adalah staf SETIA. Bahkan MOU telah ditanda tangani.
2.      Tugas saya dalam penyusunan buku pedoman dengan tujuh pelajaran telah saya kerjakan seturut dengan waktu yang telah disepakati. Meskipun hingga kini buku tersebut masih dalam proses finishing.
3.      Saya sementara kuliah dalam kelas Dick Mak, jadi dengan tugas-tugas dan waktu kuliah yang sangat padat. Selain itu, saya juga ingin fokus untuk menyelesaikan studi saya ini dengan baik.
4.      Saya bukan orang PAK, jadi saya akan lebih berkonsentrasi kepada tugas saya sebagai seorang teolog.

Berdasarkan tiga alasan di atas maka saya putuskan untuk  tidak terlibat lagi dalam pengurusan CeriA Indonesia. Saya yakin bahwa di SETIA masih banyak staf yang bisa membantu. Saya juga sangat yakin bahwa Pak Arif Dohude bisa mengerjakan tugas koordinasi dengan baik. Apabila diperlukan, maka dapat dicarikan pengganti saya.

Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada pak Henk Oostra apabila selama bekerja dengan saya, banyak kelemahan dan kekurangan yang bapak temukan dalam diri saya. Alkitab CeriA yang masih pada saya dalam waktu yang singkat saya juga akan serahkan kepada pak Arif Dohude. Begitu juga dengan setiap laporan dari mahasiswa yang sekarang praktik di daerah yang tahun lalu telah menerima pelatihan CeriA dari pak Henk, saya juga akan teruskan kepada pak Arif.

Terima kasih atas semua kebaikan pak Henk selama ini kepada saya. Tuhan Yesus memberkati. Sekian dan terima kasih.


Hormat saya,

Ady Putra  

Redefinisi Nama ALLAH



Redefinisi Nama 1: ALLAH: DARI ARABIA PRA ISLAM HINGGA INDONESIA MODERN    
Seri Redefinisi dan Rekonsepsi Nama Allah dan Urgensi Penggunaan Nama Yahweh Dalam Komunitas Kristiani

PEMAHAMAN TENTANG ARABIA PRA ISLAM

Arabia pra islam, artinya dunia Arab sebelum tersentuh nilai-nilai dan ajaran Islam yang diajarkan oleh Muhamad bin Abd’llah. Adapun karakteristik dunia Arabia pra Islam adalah:[f1]
Secara Politis: Dikelilingi oleh tiga kerajaan besar dan berpengaruh yaitu, Sasanid Persia, Byzantium di Roma dan Abysinia di Afrika.
Secara Sosial : Pola kehidupan masyarakat yang masih menonjol kesukuannya [tribal humanism].
Secara Kultural : kehidupan masyarakat yang masih dikuasai kebodohan.
Secara Spiritual : Merebaknya animisme [kepercayaan bahwa setiap benda didiami roh], dinamisme [kepercayaan pada daya-daya gaib pada benda atau tempat tertentu], fetisisme [kepercayaan pada jin-jin yang bersifat baik maupun jahat], hanifisme [tendensi monoteistik yang bersifat asketik] serta perbauran komunitas Yahudi dan Kristen yang datang pada Abad 1 Ms. Adapun komunitas Yahudi dan kristen berdomisili di Medinah.

NAMA ALLAH PRA ISLAM

Sebelum Islam berkembang sebagai agama definitif yang diproklamirkan oleh Muhamad dengan sahadat “La Ilah ila Allah” , adapun nama Allah itu sendiri telah jauh dikenal didunia Arabia. Berikut pernyataan maupun komentar para ahli, baik dari kalangan Islam maupun Kristen Barat yang meneliti keislaman [Orientalisme]. Allah adalah nama dewa yang mengairi bumi dan ternak[f2], nama dewa yang disejajarkan dalam sumpah-sumpah orang Quraish[f3], nama dewa tertinggi suku badui Arab[f4], nama dewa tertinggi diantara sekian banyak dewa lain yang disembah penduduk Mekkah pra Islam[f5], nama dewa bulan pra Islam dengan simbolisasi bulan sabit[f6], kata nama yang diterapkan hanya untuk menyatakan dewanya orang Arab secara khusus[f7], nama dewa jaman pra Islam yang sama artinya dengan nama dewa Bel dari Babilonia[f8].

ASAL USUL NAMA ALLAH

Mengenai asal-usul nama Allah itu sendiri, masih menjadi bahan perdebatan baik dikalangan Kristen maupun Islam. Kita akan melihat sekilas pemetaan silang pendapat mengenai asal-usul nama Allah dibawah ini.

Pandangan Islam: Allah, berasal dari kata Al [definite article, The] dan Ilah [generic name, God]. Penyingkatan dari kata Al dan Ilah menjadi Allah, untuk menandai sesuatu yang telah dikenal. Dalam perkembangannya, untuk mempermudah hamzat yang berada diantara dua lam [huruf ‘LL’], huruf ‘I’ tidak diucapkan sehingga berbunyi Allah dan menjadi suatu nama yang khusus dan tidak berakar[f9]. Ada pula yang berpendapat bahwa Allah berasal dari Al Ilahah, Al Uluhah dan Al Uluhiyah yang bermakna ibadah atau penyembahan[f10]. Yang lain mengajukan bahwa Allah berasal dari kata Alaha yang berarti menakjubkan atau mengherankan karena segala perbuatannya[f11]. Sementara ada yang berargumentasi bahwa Allah berasal dari kata, Aliha ya’lahu yang bermakna tenang[f12]. Kelompok pemikir dari Kufah mengatakan bahwa Allah, berasal dari Al-Lah, yang diambil dari verba noun lah yang berasal dari kata lahaya yang bermakna menjadi tinggi[f13]. Sedangkan Ibn Al Arabi menyatakan bahwa Tuhan itu tidak bernama, tetapi Dzat yang dinamakan oleh umatNya. Penamaan terhadap Tuhan, berarti melimitasi eksistensi Tuhan[f14].

Pandangan Kristen : Ada yang beranggapan bahwa Allah adalah berasal dari sumber Syriac, Alaha[f15]. Sementara yang lain berpendapat bahwa Allah berasal dari akar kata rumpun semitis El, Eloah dan Elohim serta Alaha. Bentuk Arabnya Ilah, lalu mendapat imbuhan Al yang berfungsi sebagai definite article [The God- Al Ilah-Allah] [f16]. Kata Allah berasal dari Al dan Ilah. Akar kata ini terdapat dalam semua bahasa semitis, yaitu dua konsonan alif dan lam serta ucapan yang lengkap dengan huruf hidup adalah sesuai dengan phonetik masing-masing[f17]. George Fry dan James R. King menyampaikan, “the name by which God is known to muslim, Allah is generally thought to be the proper noun form of the Arabic word for God, Ilah. Al, meaning The ini Arabic word. This word is related to the Hebrew from El and Elohim[f18]. J. Blau menjelaskan bahwa kata Allah adalah murni dari konteks Arab dan bukan dari sumber Syriac[f19].

PENGGUNAAN NAMA ALLAH DALAM KEKRISTENAN DI INDONESIA

Nama Allah, yang berasal dari dunia Arabia pra Islam, ternyata masih diperdebatkan mengenai akar kata maupun artinya. Nama Allah, telah diadaptasi oleh Kekristenan di Indonesia, melalui teks terjemahan Kitab Suci berbahasa Melayu yang telah berlangsung sejak tahun 1629 [A.C. Ruyl], Th 1733 [M.Lejdecker], Th 1879 [H.G. Klinkert] sampai berdirinya Lembaga Alkitab Indonesia, yaitu Th 1954 hingga saat ini.

Sehubungan dengan pengadaptasian nama Allah, para penerjemah terdahulu menggunakan jasa kaum muslim Melayu untuk menerjemahkan beberapa kata tertentu dari bahasa Belanda yang dibawa para pekabar Injil[f20]. Hasil Pengadaptasian tersebut menjadikan nama Allah yang adalah nama diri [personel name] dari dewa pra Islam dan Asma Tuhan yang disucikan oleh komunitas Islam, hingga hari ini, menjadi nama jenis [generic name]. Contoh: dalam teks Hebraic dari Kejadian 1:1 berbunti, “Beresyit bara Elohim et ha shamayim wqe et ha arets” , maka dalam teks Lembaga Alkitab Indonesia menjadi, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” . Demikian pula dengan nama Yahweh [YHWH] yang adalah nama diri Sang Pencipta [Mzm 121:1-2], nama Bapa Surgawi [Yes 64:8] dan nama Sesembahan yang benar [Yer 10:10], telah berganti menjadi TUHAN [dengan huruf kapital semua] dan ALLAH [dengan huruf kapital semua]. Perhatikan contoh berikut: “Ani Yahweh, hu syemi” [Yes 42:8], telah diterjemahkan menjadi, “Aku ini TUHAN, itulah namaKu” . Demikian pula frasa, “Adonai Yahweh diber, mi lo yinaven?” [Amos 3:8], telah diterjemahkan oleh LAI menjadi, “Tuhan ALLAH telah berfirman, siapakah yang tidak bernubuat?”

Istilah Elohim telah diterjemahkan menjadi Allah kurang lebih 6000 kali. Nama Yahweh, telah diubah menjadi TUHAN sebanyak kurang lebih 3000 kali. Sementara nama Yahweh menjadi ALLAH, sebanyak kurang dari 3000 kali. Renungkan: Patutkah nama diri Sang Pencipta diganti dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia? Jawaban atas pertanyaan ini, akan membawa anda pada implikasi yang kompleks.

KEBERATAN DARI SISI FILOLOGIS DAN GRAMATIKAL

Pada bagian sebelumnya, telah dipaparkan kajian asal-usul nama Allah dari perspektif historis maupun etimologis. Pada bagian ini akan kami perdalam dengan menyaksikan tinjauan kritis mengenai akar kata nama Allah yang dihubungkan dengan ungkapan semitik El. Eloah, Elohim [Ibr], Elah [Aram], Ilanu [Akkadian].

Allah, bukan bentukan atau kontraksi dari Al dan Ilah. Jika benar Allah adalah kontraksi dari Al dan Ilah, mengapa logika ini tidak berlaku untuk kata Arab lainnya seperti, Al dan Iman, mengapa tidak menjadi Alman? Al dan Ilmu mengapa tidak menjadi Almu? Bambang Noorsena pernah membantah dengan menyatakan bahwa kasus penyingkatan Al dan Ilah, hanya terjadi dalam bahasa Arab[f21]. Renungkan: mengapa penyingkatan ini menjadi sangat istimewa pada kata Al dan Ilah?

Allah, bukan berasal dari rumpun kata semitis El, Eloah dan Elohim. Jika Allah adalah rumpun semitis dengan istilah Ibrani, El, Eloah dan Elohim, maka bentuk gramatika jamak untuk Allah itu apa? Dalam terminologi Hebraik, penjamakan kata benda, selalu digunakan akhiran “im” [jika gendernya maskulin] atau “ot” dan “ah” , [jika gendernya feminin] [f22]. Kata “khay” [hidup] bentuk jamaknya adalah “khayim” [kehidupan]. Kata “Eloah” , bentuk jamaknya “Elohim” . Demikian pula dalam bahasa Arab, istilah Ilah [yang sepadan dengan Eloah], bentuk jamaknya adalah Alihah [Ilah-ilah]. Adakah bentuk jamak dari Allah? [f23] Renungkan: Adakah tata bahasa yang membenarkan bahwa nama diri ditulis dalam bentuk jamak?

Dalam Kitab Suci TaNaKh, tidak ada ditemui kata Allah dalam konotasi nama diri. Dalam naskah TaNaKh berbahasa Ibrani, ada sejumlah kata yang berkonotasi dengan Allah, namun sesungguhnya bukan. Contoh:
    1. Alla [http://messianic-indonesia.com/pics/pics_artikel/redefinisi_01_01.gif], huruf ‘h’ diakhir kata tidak diucapkan karena tidak ada titik pengeras atau dagesh forte. Artinya, “sumpah” [1 Raj 8:31]
    2. Alla [http://messianic-indonesia.com/pics/pics_artikel/redefinisi_01_02.gif], huruf ‘h’ akhir tidak diucapkan. Artinya, “pohon besar” [Yos 24:26]
    3. Ela [http://messianic-indonesia.com/pics/pics_artikel/redefinisi_01_03.gif], huruf ‘h’ diakhir kalimat tidak diucapkan. Artinya, “nama suatu kaum” [Kej 34:41] dan “nama raja di Israel” [1 Raj 16:6-8]
    4. Elaha [http://messianic-indonesia.com/pics/pics_artikel/redefinisi_01_04.gif, Dan 5:21], Elah [http://messianic-indonesia.com/pics/pics_artikel/redefinisi_01_05.gif, Dan 2;47a], Elahakhon [http://messianic-indonesia.com/pics/pics_artikel/redefinisi_01_06.gif Dan 2:47b], adalah varian bahasa Aram yang artinya sama dengan Eloah dalam bahasa Ibrani. Baik Elah, Elaha atau Elahakhon dapat menunjuk pada terminologi Sesembahan Israel Yang Sejati atau terminologi umum untuk sesembahan diluar Israel
    5. Eloah [http://messianic-indonesia.com/pics/pics_artikel/redefinisi_01_07.gif, Hab 3:3], Elohei [http://messianic-indonesia.com/pics/pics_artikel/redefinisi_01_08.gif, 1 Taw 16:26], Elohim [http://messianic-indonesia.com/pics/pics_artikel/redefinisi_01_09.gif, Kej 1:1], artinya Yang Maha Kuasa atau Sesembahan. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan God dan dalam bahasa Yunani diterjemahkan Theos.
    6. El [http://messianic-indonesia.com/pics/pics_artikel/redefinisi_01_10.gif, Kej 33:20] artinya Yang Maha Kuat
Dalam Kitab Perjanjian Baru [Beshorah-Injil], tidak ditemui kata-kata yang menunjuk pada nama diri Allah. Ketika Yahshua [Yesus] berteriak di kayu salib saat kematianNya, Dia berseru: “Eli-Eli Lama Shabakhtani?” [Mat 27:46]. Kata “Eli’, merupakan bentuk singkat dari “Elohim” dan “Anokhi” atau “Ani” [saya]. Kebiasaan menyingkat kalimat seperti ini biasa terjadi dalam tradisi Israel. Perhatikan dalam Keluaran 15:2 yang selengkapnya dalam naskah Hebraik: “ze Eli, weanwehu Elohei abi waaromenhu” . Kata “Eli” dalam ayat tersebut diartikan “Sesembahanku” atau “Tuhanku”. Seruan Eli-Eli lama sabakhtani dalam Matius 27:46 dalam Kitab Suci berbahasa Arab dituliskan, “Ilahi-Ilahi limadza taroktani?” dan bukan “Allahi-Allahi limadza taroktani?” .

MENANGGAPI SOAL EKSISTENSI INSKRIPSI NAMA ALLAH DI KALANGAN KRISTEN ARABIA SELATAN

Patut diakui adanya fakta, bahwa di Arabia Utara pra Islam, telah ditemui sejumlah komunitas Kristiani non Khalsedonian yang telah lebih dahulu menggunakan nama Allah, dalam pengertian Al Ilah yang Esa, sebagaimana ditemui dari sejumlah inskripsi yang menurut Bambang Noorsena dipengaruhi Kekristenan[f24]. Adapun inskripsi-inskripsi tersebut adalah : Inskripsi Namarah [th 328 Ms], ditulis dalam huruf Aram Nabatea, sebua peralihan ke huruf Arab. Inskripsi Ummul Jimmal [th 250 Ms], ditulis dalam huruf Aram. Inskripsi Zabad [th 512 Ms], ditulis dalam huruf Yunani, Aram dan Arab. Ditemukan disebuah gereja kuno dengan diawali kata, “Bismi’llah”. Inskripsi Haran [th 568 Ms], ditemukan disebuah gereja kuno dengan huruf Arab serta ada tanda salibnya, sebagai ciri kekristenan. Inskripsi Ummul Jimmal [th 500 Ms] dengan tulisan Arab, “Allah Ghafran” [Allah mengampuni]

Terhadap fakta ini, terlebih dahulu kita melakukan kilas balik. Komunitas Yahudi dan Kristen telah ada di Arabia sekitar Abad 1 Ms. Sedangkan nama Allah yang terkadang dihubungkan dengan eksistensi Ka’bah pra Islam, telah lama ada jauh sebelum komunitas Kristiani maupun Yahudi. Konsekwensi logisnya, tentulah Yahudi dan Kristenlah yang telah mengadopsi kata tersebut dan menghubungkannya dengan terminologi Ibrani Eloah dan Elohim. Renungkan: Jika telah terjadi proses adopsi terminologi, berarti penggunaan nama Allah dalam komunitas Yahudi dan Kristen Arab pra Islam, tidaklah orisinil. Apalagi nama Allah, bagi komunitas Arabia pra Islam, dihubungkan dengan nama dewa-dewa tertentu yang bersifat paganistik, sebagaimana telah dipaparkan diawal kajian ini.

Footnote:
  • [f1] : Pdt. Djaka Soetapa, Th.D., UMMAH: Komunitas Religius, Sosial dan Politis dalam Al Qur’an, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1991, hal 55-101
  • [f2] : Muhamad Wahyudi Nafis, Passing Over, Jakarta: Gramedia Pustaka Tama, 1998, hal 85 – mengutip R. Al Faruqi dalam Cultural Atlas of Islam, 1986, p.65
  • [f3] : K.H. Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarekh Muhamad, Jil IA, hal 269
  • [f4] : Prof. DR. K.H. Kraemer, Agama Islam, Djakarta: BPK, 1952, hal 11
  • [f5] : Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Yayasan Obor Indonesia, 1991, hal 258
  • [f6] : DR. Robert Morey, Islamic Invasion, Harvest House Publisher, 1992, p.211-218
  • [f7] : James Hastings, Encylopedia of Religion and Ethic, T&T Clark, 1908, p.326
  • [f8] : Thomas O’Brian, Paul Meagher, Encylopedia of Religion, Corpus Pub, 1979,
p.117
  • [f9] : DR. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Lentera Hati, 1998, hal 3-9
  • [f10] : Ibid
  • [f11] : Ibid
  • [f12] : Ibid
  • [f13] : DR. Djaka Soetapa, Penterjemahan Kata Yahweh dan Elohim menjadi TUHAN dan Allah dalam Perspektif Teologi Islam, hal 2 [Makalah disampaikan pada Sarasehan Terjemahan Alkitab Mengenai Kata TUHAN dan ALLAH, PGPK, Bandung, 5 Juni 2001]
  • [f14] : DR. Kautzar Azhari Noer, Tuhan Kepercayaan [Artikel Koran Jawa Pos, 23 September 2001
  • [f15] : Arthur Jefrey, The Foreign Vocabulary of the Qur’an, Baroda:Oriental Institute, 1938, p.66
  • [f16] : Bambang Noorsena, Mengenai Kata Allah, Institute for Syriac Christian Studies, Malang, 2001, hal 9
  • [f17] : Olaf Schumman, Keluar dari Benteng Pertahanan, Rasindo, hal 172-174
  • [f18] : George Fry and James R. King, Islam: A Survey of The Muslim Faith, Baker Book House, 1982, p.487
  • [f19] : Arabic Lexicographical, Miscelani, 1972, p. 173-190
  • [f20] : Kitab Perdjanjian Beharoe, 1940, hal 1
  • [f21] : Op.Cit., Mengenai Kata Allah, hal 16-17
  • [f22] : DR. D.L. Baker, Pengantar Bahasa Ibrani, BPK 1992, hal 89
  • [f23] : Teguh Hindarto, STh., Kritik dan Jawab Terhadap Efraim Bambang Noorsena, SH. [Artikel di Majalah BAHANA No 09, 2001, hal 13]
  • [f24] : Op.Cit., Mengenai Kata Allah, hal 62-69

Pdt. Teguh Hindarto, MTh.
Disampaikan pada Forum Panel Diskusi
Di Auditorium Duta Wacana-Yogyakarta
Tgl 20 Oktober 2003
 

Resensi Buku: Richard L. Pratt, Dirancang Bagi Kemuliaan (Designed For Dignity)



Resensi Buku:
Richard L. Pratt, Dirancang Bagi Kemuliaan (Designed For Dignity).
Surabaya: Momentum 2002. 235 halaman

Ady Putra
Mahasiswa Program M. Th. Biblikal, STT SETIA Jakarta

Deskripsi. Richard L. Pratt adalah seorang Profesor Perjanjian Lama dari Reformed Theological Seminary di Orlando. Setelah membaca beberapa buku yang telah ditulis oleh Pratt, maka disimpulkan bahwa penulis sangat baik dalam memaparkan setiap narasi dalam Alkitab khususnya setiap narasi dalam Perjanjian Lama. Sehingga walaupun penulis adalah seorang akademisi akan tetapi setiap tulisannya, termasuk buku ini disajikan dengan bahasa yang relatif ‘ringan’ serta dengan contoh-contoh yang praktis. Hal ini sangat jelas dijumpai dalam buku ini.
Pada bagian pertama buku ini, penulis menjelaskan tentang posisi kita dalam Kerajaan Allah. Menurutnya, manusia diciptakan untuk menjadi sarana utama yang melaluinya Kerajaan Allah akan dinyatakan di atas bumi. Manusia memiliki peran yang unik dalam menghadirkan Kerajaan Allah dan manusia juga telah ditetapkan untuk berbagi di dalam kemuliaan ini. Berdasarkan peran manusia untuk menghadirkan kemuliaan Allah di dunia ini, maka Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Menurutnya, kita adalah gambar Allah yang hina sekaligus yang mulia. Sebagai gambar Allah yang hina mengindikasikan bahwa manusia bukanlah Allah serta manusia hanyalah ciptaan yang memiliki keterbatasan. Namun manusia juga adalah ciptaan yang mulia, oleh karena manusia menjadi representatif pemerintahan Allah di bumi. Bahkan menurutnya, manusia merupakan simbol kehadiran Allah di bumi. Meskipun pada akhirnya, itu dirusak oleh dosa. Sehingga membuat gambar itu rusak total dan tidak lagi dengan sempurna dapat mewakili Allah di dunia.
Dalam bagian kedua, penulis mendeskripsikan tugas manusia di bumi sebagai gambar dan rupa Allah. Menurutnya, manusia memiliki tugas ganda, yakni: berlipat ganda dan menguasai bumi. Berlipat ganda bukan hanya berkaitan dengan pelipat-gandaan secara fisik, meskipun hal ini juga merupakan panggilan kita yang mulia. Oleh karena pelipat-gandaan dalam hal ini juga menyangkut tentang pelipat-gandaan secara spiritual – sehingga klimaksnya nanti adalah Amanat Agung. Sedangkan berkuasa berarti menguasai dunia demi kemuliaan Allah. Manusia harus memiliki relasi yang baik dengan alam sekitar, sesama, dan diri sendiri. Sehingga kemuliaan bagi Allah dapat terwujud melalui penaklukan bumi dengan kehadiran gambar-gambar Allah yang baik.
Bagian ketiga penulis mendeskripsikan tentang kejatuhan manusia yang merupakan gambar Allah ke dalam dosa. Menurut penulis, keputusan manusia untuk memberontak melawan Allah didahului oleh sebuah proses muslihat yang licik dari Iblis. Dan strategi Iblis adalah menyerang atau fokus kepada ‘kebanggaan manusia’. Namun meskipun manusia telah jatuh dalam dosa sama sekali tidak merubah manusia menjadi binatang. Manusia tetaplah menjadi gambar dan rupa Allah yang telah rusak. Sehingga gambar yang rusak inilah nantinya akan dikonstruksi ulang oleh Yesus Kristus melalui pengorbanan-Nya di salib.
Pada bagian keempat, penulis mendeskripsikan tentang situasi dunia pasca kejatuhan manusia dalam dosa. Kejahatan menjadi sebuah ancaman bagi bumi ini. Mengapa? Oleh karena seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa semua ciptaan Allah bertujuan untuk mempermuliakan-Nya. Namun sekarang hal itu tidak kelihatan lagi oleh karena kejahatan yang semakin merajalela di bumi. Dalam bab ini, penulis mengambil contoh dari kisah Nuh untuk menjelaskan bahwa sebenarnya Allah sudah memberikan banyak waktu kepada manusia untuk bertobat. Akan tetapi manusia tidak menggunakan kesempatan itu, sehingga Allah harus menghukum manusia karena dosa.
Bagian kelima penulis mendeskripsikan tentang pokok-pokok yang harus diperhatikan guna dapat kembali meraih tujuan hidup kita. Menurut penulis, dalam hal ini kita harus memperhatikan tiga pokok, yakni: (1) beriman kepada kuasa Allah yang sedang memimpin kita ke sana; (2) bersabar menantikan waktu Allah; dan (3) bertekun dengan setia kepada Tuhan. Untuk menjelaskan ketiga pokok di atas, maka penulis mengambil contoh dari kehidupan Abraham dalam pergumulan iman untuk meyakini dan menantikan realisasi janji Allah.
Bagian keenam penulis membawa kita untuk melihat situasi pada zaman Musa guna kita dapat menggali setiap berkat Tuhan yang ada di sana. Dahulu Tuhan mengutus Musa dan umat-Nya untuk berperang agar bisa merebut tanah perjanjian. Akan tetapi sekarang kita harus melakukan perang rohani dengan senjata Firman Allah, oleh karena dalam Firman Allah dapat ditemukan kekuatan dan keteguhan untuk menghadapi peperangan melawan Iblis. Semua ini harus kita lakukan guna membawa pemulihan gambar dan rupa Allah dalam diri manusia supaya dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
Pada bagian ketujuh, penulis mendeskripsikan tentang gambar Allah yang telah jatuh dan rusak total, diberikan oleh Allah kemuliaan yang lebih tinggi. Hal ini tampak dengan jelas dalam kerajaan Daud. Penulis mendeskripsikan bahwa sama seperti Daud yang diliputi oleh kegirangan dan syukur yang luar biasa kepada Allah atas berkat-berkat-Nya yang melimpah, maka demikian juga kita yang telah memperoleh berkat yang luar biasa dalam Kristus harus lebih bersyukur lagi bahkan lebih dari pada syukur Daud. Oleh karena melalui kebangkitan Kristus, memungkinkan kita untuk mengecap mahkota kemuliaan bersama dengan Kristus.
Pada bagian kedelapan, penulis menjelaskan tentang dua efek dari berkat Allah. Di mana menurutnya, apabila berkat tersebut digunakan seturut dengan maksud dan rencana Allah maka hal itu akan berdampak positif bagi hidup kita. Namun apabila dipergunakan dengan tidak benar maka hal itu akan berdampak secara negatif kepada kita. Hal ini dijelaskan penulis berkaitan dengan Hukum Taurat. Hukum Taurat dapat menolong kita untuk mengenal dosa sehingga kita merasa perlu seorang juruselamat. Akan tetapi Hukum Taurat sendiri bukanlah juruselamat. Sehingga apabila kita sudah mengenal dosa melalui Hukum Taurat, maka kita menghindari dosa.  Namun justru membuat kita semakin giat melakukannya. Bukankah hal ini menjadi lumrah dalam kehidupan gereja Tuhan?
Dalam bagian sembilan dan sepuluh, penulis mendeskripsikan tentang peran sentral dari Yesus Kristus sendiri dalam pemulihan gambar dan rupa Allah itu. Sehingga pemulihan yang utuh terhadap gambar dan rupa Allah dalam diri manusia tergantung pada upaya satu orang yang kepada-Nya kita menyandarkan segala harapan kita – Yesus Kristus. Ia menjadi langkah terakhir menuju kemuliaan. Namun dalam menunggu kondisi tersebut, terlebih dahulu kita dipanggil untuk menderita bagi-Nya. Setiap orang percaya menanggung penderitaan dan kesukaran demi Kristus.
Kelebihan. Penulis mendeskripsikan buku ini dengan sangat sistematis, bahasa yang mudah dipahami, meskipun nilai akademis dan alkitabiahnya tetap tinggi. Sehingga menjadi kerugian besar bagi setiap orang
Kekurangan. Pekerjaan yang sulit adalah mencari kelemahan buku ini. Buku ini nyaris sempurna. Meskipun sudah dua kali selesai membaca habis buku ini, akan tetapi kelemahan isi nyaris tidak ada. Richard L. Pratt memang seorang ahli Perjanjian Lama yang extra ordinary.
Rekomendasi pembaca. Buku ini sangat bagus, serta pesan yang disampaikan sangat urgen, sehingga menurut saya buku ini dibaca semua kalangan orang percaya. Sangat disayangkan apabila dibaca oleh kelompok mahasiswa teologi saja. Oleh karena bahasanya pun sangat mudah dipahami.