Erna Laman

Minggu, 16 Desember 2012

HAKIKAT KARAKTER DAN PROSES PEMBENTUKANNYA ???

HAKIKAT KARAKTER DAN PROSES PEMBENTUKANNYA ???

Apa arti karakter? Akar kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya “tools for marking”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Perancis “caractere” pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi “character”, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia “karakter”.

Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk’ unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau `berkarakter’ tercela).

Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.

Sementara itu, seorang ilmuwan dan peneliti, Gordon Allport mengartikan karakter sebagai personality evaluated and personality is character devaluated (watak dan kepribadian itu sama). Dalam ulasan yang lebih luas, Allport menjelaskan tentang karakter (kepribadian) sebagai organisasi dinamis di dalam individu yang terdiri dari sistem-sistem psikofisik yang menentukan perilaku dan pikiran secara karakteristik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

Pengertian karakter yang dibangun oleh Allport diperdalam lagi oleh Antonius Atosokhi, dkk. yang memaparkan pengertian karakter secara per-variabel, yaitu:

1. Organisasi dinamis, bahwa kepribadian itu selalu berkembang dan berubah meskipun ada suatu sistem organisasi yang mengikat dan menghubungkan berbagai komponen dari kepribadian kita.

2. Psikofisik, ialah organisasi kepribadian yang melingkupi kerja tubuh dan jiwa yang tak terpisahkan dalam satu kesatuan.

3. Penentu, yang menunjukkan bahwa kepribadian mengandung berbagai kecenderungan determinasi yang memainkan peran aktif terhadap bentuk-bentuk perilaku dan pikiran individu.

4. Karakteristik (khas, unik), artinya tidak ada dua orang yang benar-benar sama dalam caranya menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berarti tidak ada dua orang yang memiliki kepribadian yang sama.

5. Penyesuaian diri terhadap lingkungan, maksudnya kepribadian mengantarkan individu dengan lingkungan fisiologisnya (yang terkadang menguasainya), sehingga kepribadian di sini mempunyai fungsi adaptasi dan menentukan.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa karakter memiliki hubungan dengan seluruh unsur yang terdapat di dalam tubuh, baik unsur jasmani maupun rohani. Artinya, karakterlah yang menentukan lingkah laku dan pikiran manusia serta cara manusia berada dalam lingkungan sosial.

Pendapat tersebut diperkuat oleh M. Anis Matta yang memaparkan karakter sebagai hubungan antara pikiran, perasaan, dan tindakan yang menyatu sedemikian rupa, dan menghilangkan kesan keterbelahan. Dari wilayah akal terbentuk cara berpikir, dan dari wilayah fisik terbentuk cara berperilaku. Cara berpikir menjadi visi. Cara merasa menjadi mental, dan cara berperilaku menjadi karakter.

Para ahli psikologi modern menganggap faktor intern dan ekstern manusia bersifat mutlak terhadap pembentukan kepribadian, sehingga mereka menyebutnya dengan istilah determinan dan tidak dapat diubah sama sekali, khususnya terhadap tiga faktor dibawah ini.

1. Determinasi genetis, yaitu sifat bawaan dari lahir. Orang yang secara genetis mempunyai sifat keras tidak akan bisa menjadi lembut.

2. Determinasi psikologis, yaitu pola didik dan perlakuan keluarga yang diperoleh pada masa kecil akan melekat sampai tua dan tidak dapat diubah.

3. Determinasi sosial, yaitu pola kehidupan sosial suatu masyarakat selamanyaakan membentuk sifat-sifat dasar seseorang yang kelak tidak dapat diubah.

Jika melihat pola dasar pembangunan karakter, maka dalam sudut pandang psikologi, G. Ewald memberi batasan watak, yakni sebagai totalitas dari berbagai keadaan dan cara berekasi jiwa terhadap perangsang (stimulus).

Secara teoritis, Ewald membedakan antara watak yang dibawa sejak lahir dengan watak yang diperoleh, yaitu:

1. Watak yang dibawa sejak lahir adalah aspek yang menjadi dasar perwatakan diri. Watak berhubungan erat dengan keadaan fisiologis, yakni kualitas susunan saraf pusat.

2. Watak yang diperoleh adalah watak yang telah dipengaruhi oleh lingkungan, pengalaman dan pendidikan.

Jika G. Ewald berbicara mengenai pembagian karakter melalui kacamata psikologi, maka Islam sendiri membagi akhlak (karakter, istilah M. Anis Matta) menjadi dua: Pertama, akhlak fitriyah, yaitu sifat bawaan yang melekat dalam fitrah seseorang, yang dengannya ia diciptakan, baik sifat fisik maupun sifat jiwa. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. Ar-Ruum: 30)

Kedua, akhlak Muktasavah, yaitu sifat yang semula tidak ada dalam sifat bawaan seseorang, namun diperoleh melalui lingkungan alam dan sosial, pendidikan, latihan, dan pengalaman. Hal ini diperjelas dengan hadis Rasulullah saw.: “Ilmu diperoleh dengan belajar, dan sikap santun diperoleh dengan latihan menjadi santun.” (H.R. Bukhari)

Dari dua macam pendapat yang ada di atas, dapat ditarik sebuah garis tengah bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang telah mempunyai kepribadian asli, dan hal itu bersifat alami. Setelah itu baru lingkungan sosial yang membangun dan mengarahkan kepribadian tersebut. Hal ini berarti terdapat faktor pembentukan karakter manusia dan mempengaruhinya menjadi lebih kuat, melemah, atau mungkin justru tergantikan dengan kepribadian baru[.]

Proses Pembentukan Karakter

Upaya manusia menuju pembentukan karakter yang kuat tergantung pada penggunaan yang sesuai dari kehendak bebasnya. Otonomi sangat luas dan tidak terbatas yang dimiliki pribadi dalam bertindak, bersikap dan berpikir merupakan kunci pokok berkembang atau hancurnya sebuah kepribadian atau karakter yang dibangun. Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, karena di dalam pikiran terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya dan merupakan pelopor segalanya.

M. Anis Matta merumuskan sifat perkembangan pembentukan kepribadian sebagai berikut:

1) Unsur-unsur kepribadian tumbuh dan berkembang secara bersamaan (simultan), termasuk di dalamnya unsur awal yang sangat berpengaruh, yaitu kesadaran diri.

2) Pertumbuhan dan perkembangan unsur-unsur kepribadian saling mempengaruhi.

3) Usia merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi perkembangan unsur-unsur kepribadian.

4) Perkembangan tidak selalu berlangsung pada deret ukur yang lurus, tetapi bisa fluktuatif dan bahkan mungkin berhenti sebelum sampai pada perkembangan terakhir yang diasumsikan.

5) Unsur-unsur kepribadian saling mempengaruhi, tetapi pertumbuhan dan perkembangan unsur-unsur itu tidak berlangsung dengan tingkat kecepatan yang sama.

6) Kepribadian atau karakter adalah hasil akhir dari akumulasi perkembangan semua unsur-unsur kepribadian.

Dengan pemahaman awal tentang sifat perkembangan karakter (kepribadian) manusia, maka analisa tentang proses pembentukan karakter secara Islami dapat diketahui. Proses pembentukan karakter dalam sudut pandang ke-Islam-an oleh M. Anis Matta dirumuskan sebagai berikut:

“Di mulai dari adanya nilai yang diserap seseorang dari berbagai sumber, kemudian nilai tersebut membentuk pola piker seseorang yang secara keseluruhan keluar dalam bentuk rumusan visi. Selanjutnya, visi turun ke wilayah hati dan membentuk suasana jiwa, yang secara keseluruhan keluar dalam bentuk mentalitas, kemudian mengalir memasuki wilayah fisik dan melahirkan tindakan yang secara keseluruhan disebut sikap. Dari sikap-sikap yang dominan terdapat dalam diri seseorang dan secara akumulatif mencintai dirinya, maka itulah yang disebut sebagai kepribadian.”

Karena seluruh proses pembentukan karakter itu terjadi dalam dinamika ke-Islam-an, maka hasil yang dimunculkan adalah dominasi dari tindakan-tindakan yang dilakukan manusia setiap hari, yakni berupa akhlak. Dalam rangka menemukan suatu rumusan unsur-unsur di dalam kesadaran diri, maka penulis mengkomparasikan beberapa teori psikologi dan teori Islam dari beberapa literatur. Kemudian akan ditarik menjadi sebuah gambaran umum menuju suatu kesimpulan tentang unsur-unsur pembentukan karakter (kepribadian) manusia.

Carl Rogers dalam teori psikologi selfnya memaparkan tentang self dan kesadaran diri yang merupakan wujud dari penerimaan diri (bersikap positif) terhadap orang lain. Kemudian teori psikoanalisisnya Symon yang terdapat dalam bukunya berjudul “The ego and The Self” yang memberi batasan diri dan ego sebagai suatu kelompok proses, yaitu proses mengamati, mengingat dan berpikir yang berguna untuk membuat dan melaksanakan tindakan agar bisa mencapai kepuasan atas respon terhadap dorongan dari dalam. Sedangkan self sebagai cara seseorang bereaksi terhadap dirinya sendiri.

Teori psikoanalisis Symon menyebutkan bahwa proses untuk membentuk karakter terdiri atas empat aspek, yaitu:

1) Bagaimana orang mengamati dirinya sendiri

2) Bagaimana orang berpikir tentang dirinya sendiri

3) Bagaimana orang menilai dirinya sendiri

4) Bagaimana orang berusaha dengan berbagai cara untuk menyempurnakan dan mempertahankan diri

M. Iqbal memaparkan konsep Islam tentang proses pembentukan karakter manusia, yaitu dimulai dengan kesadaran terhadap diri pribadi, kemudian dilanjutkan dengan proses takhalli dan tahalli, atau yang disebut dengan pembersihan diri dari sifat-sifat tercela dan menciptakan sifat-sifat keutamaan pada diri.

Pendapat serupa juga dikemukakan M. Anis Matta yang mengatakan bahwa proses membentuk karakter manusia adalah melewati beberapa langkah, yaitu:

1) Perbaikan dan pengembangan pada cara berpikir

2) Perbaikan dan pengembangan pada cara merasa

3) Perbaikan dan pengembangan pada cara berperilaku

Teori lain oleh tim Character Building Development Center dari Universitas Bina Nusantara memaparkan tiga prinsip teori pembentukan karakter, yaitu melalui upaya: mengenal diri sendiri, menerima diri, dan mengembangkan diri.

Dari teori psikologi dan Islam tentang proses pembentukan karakter di atas, ada benang merah yang dapat diambil. Benang merah tersebut dipetakan atas tiga tahapan, yaitu perpaduan prinsip pembentukan karakter yang dimulai dengan berpikir dan mengamati diri, penilaian diri, dan diakhiri dengan menyempurnakan dan mempertahankan diri.

Berikut ini tahapan-tahapan pembentukan karakter manusia.

1. Berpikir dan Mengamati Diri

Dalam upaya berpikir dan mengamati diri, manusia terlebih dahulu harus mengawalinya dengan mendapatkan gambaran tentang diri sendiri (konsep diri). Tidak beda jauh dengan pengertian kesadaran diri, konsep diri merupakan gambaran atas pemahaman pribadi tentang kekuatan serta kelemahan fisik dan psikis, juga tanggapan diri terhadap kekuatan dan kelemahan tersebut.

Karena proses akhir yang akan dituju dalam berpikir dan mengamati diri adalah sadar, kenal dan mampu mengembangkan diri, maka berpikir dan mengamati diri sangat dekat hubungannya dengan mengenal diri. Terkait dengan masalah ini, terlebih dahulu diperlukan langkah-langkah kajian yang harus ditempuh dalam mengenal ciri-ciri dasar fisik pribadi manusia demi pembentukan dan pengembangan kepribadian dan karakter manusia yang meliputi:

a. Pengelompokan jenis (ras) manusia

Antonius Atosokhi, dkk. dalam bukunya “Relasi Dengan Diri” membagi manusia atas empat ras pokok yang mendominasi bumi ini yang didasarkan pada fosil-fosil manusia yang ditemukan para arkeolog sejak dari kehidupan manusia 80.000 tahun yang lalu. Keempat ras itu ialah:

• Ras Australoid. Manusia jenis ini hampir punah dan saat ini sisanya hidup di daerah pedalaman benua Australia.

• Ras Mongoloid. Ras ini mendominasi dalam jumlah dan luas daerah penyebarannya. Ras ini adalah nenek moyang atau keturunan awal dari semua ras khusus Mongoloid di Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Utara, Asia Timur Laut, dan benua Amerika Utara dan Selatan.

• Ras Kaukasoid. Saat ini ras Kaukasoid tersebar di wilayah Eropa, Afrika, Asia Barat, Australia, serta Amerika Utara dan Selatan.

• Ras Negroid, yang kini menduduki benua Afrika sebelah selatan Gurun Sahara.

Setelah mengetahui asal-usul atau jenis ras manusia, upaya selanjutnya dalam berpikir dan mengamati diri adalah menyadari sepenuhnya akan adanya perbedaan fisik manusia. Manusia yang tersebar di seluruh muka bumi ini menunjukkan aneka perbedaan fisik yang tampak nyata seperti warna kulit, warna dan bentuk rambut, bentuk bagian wajah, ukuran tubuh dan sebagainya.

b. Jenis-jenis temperamen, kepribadian atau karakter

Seorang tokoh dan ilmuwan bernama Hippocrates berpendapat bahwa dalam diri seseorang terdapat empat macam sifat yang diwakili oleh cairan-cairan yang terdapat di dalam tubuh, yakni sifat kering yang terdapat dalam chole (empedu kuning), sifat basah terdapat dalam melanchole (empedu hitam), sifat dingin terdapat dalam phlegma (lender), dan sifat panas yang terdapat dalam sanguis (darah).

Dari ajaran yang dikemukakan Hippocrates tersebut, maka ilmuwan lain bernama Galen berupaya menyempurnakan teori kepribadian manusia ala Hippocrates itu dengan teori kepribadian baru yang masih berupa teori cairan tubuh, yaitu: chole, melanchole, phlegma dan sanguis. Teori ini mengatakan bahwa apabila suatu cairan melebihi proporsi yang seharusnya (dominan), maka akan mengakibatkan tumbuhnya sifat-sifat kejiwaan yang khas pada diri manusia, dan kekhasan pada diri manusia inilah yang Galen sebut dengan karakter.

Dengan mengenal jenis-jenis kepribadian, temperamen ataupun karakter dengan merujuk pada teori yang telah dikemukakan Hippocrates dan Galen, maka tipologi karakter manusia terbagi atas empat tipe kepribadian, yaitu kepribadian sanguinis, melankolis, kholeris, dan phlegmatic. Sebagai gambaran, lihat pada tabel berikut:

Tabel Tipologi Kepribadian

Cairan badan Prinsip Tipe khas Sifat-sifat

Chole Tegangan Kholeris Hidup keras (bersemangat), hatinya mudah terbakar, daya juang besar, optimis.

Melanchole Penegaran (riginity) Melankolis Mudah kecewa, muram, daya juang kecil, pesimistis.

Phlegma Plastisitas Phlegmatis Tak terburu-buru (tenang), tak mudah dipengaruhi, setia.

Sanguis Ekspansivitas Sanguinis Hidup mudah berganti haluan, ramah.

Penjelasan dari keempat jenis kepribadian (karakter) di atas adalah:

 Kepribadian Kholeris, mempunyai sifat umum ekstrovert, pelaku dan optimistis. Seseorang dengan kepribadian kholeris memiliki kekuatan-kekuatan:

• Emosi: berbakat sebagai pemimpin, dinamis dan aktif, harus memperbaiki kesalahan, berkemauan kuat dan tegas, tidak emosional, optimistis, bebas dan mandiri, serta meyakinkan.

• Sebagai Orangtua: memberikan kepemimpinan yang kuat, menetapkan tujuan, memotivasi keluarga dan mengorganisasi keluarga.

• Dalam Pekerjaan: berorientasi target, objektif, terorganisasi dengan baik, mencari pemecahan praktis, reaktif, pendelegasi, dan bergerak karena tantangan.

• Sebagai Teman: tidak terlalu memerlukan teman, mau memimpin dan mengorganisasi, biasanya selalu benar, dan unggul dalam keadaan darurat.

Kelemahan pada pribadi kholeris adalah sering menyalahkan orang lain, terlalu bekerja keras, harus terkendali, tidak tahu bagaimana menangani orang lain.

 Kepribadian Melankolis, dengan sifat umum introvert, pemikir, dan pesimistis. Orang yang berkepribadian melankolis memiliki kekuatan-kekuatan:

• Emosi: mendalam dan penuh pikiran, analitis, serius dan tekun, cenderung jenius, berbakat dan kreatif, artistik dan musikal, filosofis dan puitis, perasa, suka berkorban, penuh kesadaran, dan idealis.

• Sebagai Orangtua: menetapkan standard tingkat perfeksionis, suka kerapian, pendorong kecerdasan dan bakat.

• Dalam Pekerjaan: berorientasi jadwal, perfeksionis, standard tinggi, gigih dan cermat, tertib dan terorganisasi, teratur dan rapi, ekonomis, menyukai diagram, grafik, bagan, dan daftar.

• Sebagai Teman: hati-hati dalam berteman, puas dengan latar belakang, menghindari perhatian, setia dan berbakti, mau mendengarkan keluhan, problem solving yang baik, perhatian, dan peka.

Kelemahan yang terdapat pada pribadi melankolis adalah mudah tertekan, punya cinta diri rendah, suka menunda-nunda, dan mengajukan tuntutan yang tidak realistis pada orang lain.

 Kepribadian Phlegmatis secara umum memiliki sifat-sifat introvert, pengamat dan pesimistis. Seseorang dengan kepribadian ini memiliki kekuatan-kekuatan:

• Emosi: rendah hati, mudah bergaul dan santai, diam dan tenang, sabar dan baik keseimbangannya, konsisten, cerdas, simpatik dan baik hati, menyembunyikan emosi, dan bahagia menerima kehidupan.

• Sebagai Orangtua: menjadi orangtua yang baik, menyediakan waktu untuk anak-anak, tidak tergesa-gesa, biasa mengambil yang baik dari yang buruk, dan tidak mudah marah.

• Dalam Pekerjaan: cakap dan mantap, damai dan mudah sepakat, punya kemampuan administratif, menjadi penengah masalah, menghindari konflik, dan baik di bawah tekanan.

• Sebagai Teman: mudah diajak bergaul, menyenangkan, tidak suka menyinggung, pendengar yang baik, selera humor yang tinggi, suka mengawasi orang, punya belas kasihan dan perhatian pada orang lain.

Kelemahan yang terdapat pada pribadi phlegmatis adalah seperti tidak mempunyai masalah, melawan perubahan, tampak malas, berhati baja yang tenang, dan tampak tidak berpendirian.

 Kepribadian Sanguinis, dengan sifat umum ekstrovert, retorik, dan optimis. Seseorang dengan kepribadian ini memiliki kekuatan-kekuatan sebagai berikut:

• Emosi: kepribadian yang menarik, suka membaca dan berbicara, rasa humor yang hebat, ingatan kuat untuk warna, emosional dan demonstratif, antusias dan ekspresif, periang dan penuh semangat, penuh rasa ingin tahu, lugu dan polos, berhati tulus dan selalu bersifat kekanak-kanakan.

• Sebagai Orangtua: membuat rumah terasa menyenangkan, disukai teman, anak-anak, dan humoris.

• Dalam Pekerjaan: suka menjadi relawan dalam tugas, kreatif, inovatif, berenergi dan antusiasme, berpikir cemerlang, dan provokatif.

• Sebagai Teman: mudah berteman, mencintai orang lain, suka dipuji, bukan pendendam, cepat minta maaf, suka kegiatan spontan.

Sedangkan kelemahan yang ada pada pribadi ini ialah tidak ada tindaklanjut dari suatu konsep, seseorang yang tanpa kesalahan (mereka tidak percaya bahwa ia mempunyai kesalahan besar), tidak menerima diri dengan serius, banyak berbicara, egois, punya ingatan yang belum dikembangkan, tidak konsisten, pelupa, penyela dan menjawab untuk orang lain, tidak tertib dan tidak dewasa.

c. Pengenalan potensi diri

Pengenalan akan bakat dan kemampuan pribadi adalah unsur ketiga dari proses kesadaran diri. Bakat yang dimiliki seseorang bukan hanya berarti bagi dirinya sendiri, tetapi juga dapat dinikmati oleh orang lain. Hal ini berarti, kesadaran akan bakat dan potensi yang dimiliki diri pribadi sangat terkait dengan perbandingan terhadap kemampuan orang lain.

Pengertian bakat telah dikemukakan oleh Antonius Atosokhi, dkk. berupa kemampuan khusus, yang memungkinkan seseorang memperoleh keuntungan dari hasil pelatihannya sampai satu tingkat lebih tinggi di atas pribadi lain yang tidak memiliki bakat.

Bakat merupakan potensi bawaan yang telah dimiliki manusia sejak lahir. Unsur yang menentukan dalam kemunculan dan pengembangan bakat adalah keadaan luar diri seseorang (lingkungan) dan didukung oleh keinginan kuat pribadi untuk mengembangkannya. Bakat adalah potensi dan bukan sesuatu yang betul-betul nyata dengan jelas. Karakteristik suatu bakat merupakan keunikan yang membuat individu mampu melakukan aktivitas secara mudah dan sukses.

d. Mengenal kekuatan dan kelemahan diri

Dalam mengkaji kekuatan dan kelemahan diri, terlebih dahulu kita kembali pada topik-topik terdahulu, yaitu mengetahui ciri-ciri dasar fisik, kepribadian, watak atau karakter, serta bakat-bakat yang dimiliki. Hasil yang didapatkan akan membentuk sebuah konsep atau gambaran tentang diri, dengan cara menginventarisasi kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang dimiliki.

Mengenal kekuatan dan kelemahan yang dimiliki sama halnya dengan bercermin di depan kaca yang memantulkan gambaran diri sebagai objek yang terpisah. Dalam menginventarisasi kekuatan dan kelemahan diri, pribadi hendaknya membandingkan hidup yang seharusnya (das Sollen) dengan hidup yang senyatanya (das Sein). Dari perbandingan tersebut, adakah senjangan (gap) ataukah tidak? Dan bagaimanakah cara menyikapinya?

Kesadaran akan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dapat diartikan sebagai kesadaran yang penuh terhadap ciri-ciri dasar fisik yang dimiliki, sadar terhadap kepribadian, watak atau karakter yang dimiliki, dan menyadari bakat yang ada dalam diri, serta untuk apa saja bakat itu digunakan.

2. Penilaian Diri

Unsur penting dalam upaya menerima dan menghargai diri sendiri adalah penilaian diri. Banyak kasus yang terjadi dalam masyarakat kita, bahwa dalam menilai sesuatu atau keberhasilan diri pribadi harus berbanding lurus atau sama dengan keberhasilan orang lain. Dengan kata lain, banyak di antara kita yang membandingkan diri dengan orang lain atau tokoh idola kita dengan tanpa sadar dan mengerti terlebih dahulu akan hakikat sebenarnya diri kita, apa kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, serta apa status diri kita.

Penilaian tentang diri adalah wujud aspek kedua dari kesadaran diri yang merupakan tolok ukur dalam menentukan sebuah keinginan, cita-cita, harapan, dan kekuatan pribadi. Penilaian atas diri juga berarti memberi tanggapan terhadap diri atas kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dengan beraneka ragam intensitas. Dari kekuatan dan kelemahan tersebut, pribadi yang harus menyadari bahwa ada yang hanya demikian adanya, dan ada pula yang dapat diperbaiki atau dikembangkang.

Dengan melakukan penilaian diri, manusia dapat mengukur dirinya pada tingkatan tertinggi akan menghasilkan sebuah statemen diri berupa kelemahan dan kekuatan yang dimiliki dan diakui sebagai anugerah sekaligus tugas (amanah) yang harus dilaksanakan

3. Menyempurnakan dan Mempertahankan Diri

Bahasa lain untuk menyebutkan istilah menyempurnakan dan mempertahankan diri adalah mengembangkan kekuatan dan mengatasi kelemahan diri. Dalam menempuh jalan penyempurnaan dan mengatasi kelemahan diri, M. Iqbal memberikan sebuah konsep kesufian yang dimulai dari diri pribadi (ego, individu, anfus atau khudi), dalam upaya pribadi untuk mempertahankan diri. Dengan kata lain, sebuah konsep membersihkan diri dari sifat-sifat tercela guna mencapai kepribadian yang kuat.

Langkah pertama yang digunakan Iqbal adalah takhalli, yaitu pembersihan diri dari sifat-sifat dengki atau kikir (hasad), bakhil, suma’ (supaya orang lain tahu), ‘ujub (berbangga diri), kidzib (bohong), dan sifat-sifat tercela lainnya, hingga berakhir pada kekosongan sifat-sifat tersebut.

Langkah kedua adalah penyempurnaan diri melalui jalan tahalli, yaitu pengisian diri dengan syari’at (menaati aturan hukum), thariqat (pelaksanaan maqam-maqam tasawuf), hakikat untuk ma’rifat, dan tajalli (kenyataan Tuhan).

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Romdon yang mengatakan bahwa, “Takhalli adalah mengosongkan diri dari hal-hal selain Tuhan, sedangkan Tahalli adalah mengisi diri yang telah kosong itu hanya dengan Tuhan.”

Untuk mencapai kekuatan pribadi, perlu menciptakan beberapa cara yang memperkuat sifat-sifat utama dan menyingkirkan hal-hal yang memperlemah ego. Dalam hal ini, M. Iqbal menerapkan jalan-jalan spiritual tertentu untuk memperoleh karakter yang kuat diantaranya:

a. Keberanian dan menghindari rasa takut

Bagi Iqbal, ketundukan dan ketakutan hanyalah kepada Tuhan semata. Sifat keberanian harus melekat pada diri pribadi. Pencapaian maksud atau kehendak haruslah dilandasi keberanian untuk mencoba, melangkah dan merealisasikannya. Dalam salah satu baris di dalam puisinya yang berjudul “Intan dan Batu Arang”, Iqbal berkata: “Darma bakti sang berani ialah Tuhan dan tak mau gentar/singa-singa Allah tak kenal jalan hidup serigala ke sasar”.

b. Toleransi dan melarang sukuisme berlebihan

Dalam upaya menyempurnakan diri, Iqbal berprinsip bahwa pribadi akan kuat apabila pribadi bersatu dengan pribadi-pribadi lain. Artinya, pengembangan sikap dan sifat toleranssi antar manusia harus selalu dijaga secara harmonis, tidak menindas di saat berkuasa, dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

c. Kasbi halal dan tidak meminta-minta

Maksud kasbi halal adalah melakukan usaha dengan sungguh-sungguh melalui jalan yang benar (halal). Jadi, dalam upaya menyempurnakan dan mempertahankan diri, manusia hendaknya berusaha bekerja keras dan mencari materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan bukan meninggalkan kehidupan dengan hanya melakukan aktivitas ibadah semata.

d. Kerja kreatif dan orisinil

Prinsip kasbi halal adalah memperoleh cita-cita dan pikiran dengan usaha dan tenaga sendiri. Hal ini identik dengan kerja kreatif orisinil, dan keduanya berjalan seirama. Maksud keduanya ialah melarang meniru ucapan orang lain tanpa aa perkembangan sama sekali

e. Cinta dan menjauhi sikap memperbudak

Dalam upaya yang kelima, Iqbal berupaya menerapkan prinsip cinta hakiki atas segala perbuatan akhlak dan ibadah yang dilakukan manusia. Artinya, segala hal yang dilakukan pribadi berpokok para rasa mahabbah kepada Tuhannya.

Versi cinta dan kasih sayang M. Iqbal tidak mengikuti jejak para sufi fundamental yang memiliki konsep mahabbah dengan cara zuhud, yakni tidak pernah meminta hal-hal yang berbau materi, ataupun menerimanya dari pihak lain, dan menutup hubungan sosial dengan dunia luar. Prinsip cinta Iqbal adalah bahwa cinta seharusnya tidak membuat mabuk atau tidak sadarkan diri, serta mengisolasi diri dari keramaian. Cinta yang dicitakan adalah penguasaan tenaga luar dan dalam dari alam serta sebagai pendorong atas suatu penciptaan.

f. Shalat dan latihan diri

Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa awal thariqat adalah kesucian hati (dalam hatinya hanya Allah semata). Awal penyucian berlangsung sewaktu takbiratul ihram dalam shalat. Shalat itulah medan zikir untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, kemudian berpuncak kepada fana’fi Allah (lebur dalam kesatuan Allah).

Dengan cara inilah kekuatan pribadi akan berakhir menuju pencerahan rohani (illumination). Pencerahan bukan hanya bersifat atuti sugesti –atau dengan kata lain, halusinasi dari kesadaran yang isi sebenarnya adalah kosong– melainkan pencerahan yang memberi kekuatan baru dan membentuk kepribadian manusia.

Bagi Iqbal, shalat dilakukan bukan hanya karena menjalankan perintah Allah, melainkan sebagai refleksi kerinduan batin manusia untuk mendapatkan jawaban dari alam semesta ini. Setelah itu, ia menjadi sadar dan menemukan dirinya sebagai faktor dinamis dalam alam semesta.

Selain jalan spiritual yang ada, terdapat peringkat (maqam) yang disebut latihan diri menuju kesempurnaan karakter. Latihan diri ini ada tiga tingkatannya: pertama, taat kepada hukum yang dibawa Nabi Muhammad saw. Artinya, pribadi itu harus bersifat khidmat (bijaksana dalam bertindak), nikmat (kerja keras), istiqlal (kuat dan terpadu), dan sabar. Kedua, menguasai diri. Artinya, percaya pada diri sendiri, menata diri, dan tidak terombang-ambing oleh arus kehidupan yang mencelakakan diri. Dan ketiga, niyabat Illahiy (wakil Tuhan di bumi). Artinya, berperan sebagai khalifah Allah di bumi dengan menjadi insan kamil yang mampu mengendalikan pemerintahan kerajaan secara tidak ternoda, sehingga segala anasir tunduk kepadanya.

g. Evaluasi

Prinsip terakhir yang dipaparkan M. Iqbal berwujud pada upaya pengendalian psikis (jiwa) dengan metode analisis diri. Arti kata evaluasi dalam konsep Iqbal ini tidak berbeda jauh dengan evaluasi dalam konsep psikologi modern, yakni menganalisis diri tentang hal-hal yang terjadi, kepribadian (kelebihan dan kekurangan), dan sebuah proses penyadaran diri menuju kea rah perbaikan.

Dari penjabaran metode dan teori di atas, terdapat sebuah benang merah yang poin pokoknya terdapat lima prinsip: introspeksi diri (refleksi diri, tafakur, muhasabah, belajar dari pengalaman), mengendalikan diri (bertindak berdasarkan rasio, akal sehat, dan hati), percaya diri (berpikir optimis dan positif), meneladani para tokoh-tokoh besar, dan optimis terhadap diri.

Dengan bekal refleksi yang didapatkan melalui kesadaran diri, manusia dapat membangun gambaran diri (self concept) melalui metode inventarisasi kekuatan dan kelemahan yang secara nyata dan potensial dimilikinya. Dengan demikian, manusia telah mengetahui kemampuan dan kelemahan yang dimilikinya. Hasil dari refleksi inilah yang dapat digunakan untuk merencanakan sesuatu dan mengembangkan kekuatan serta sejauh mungkin mengatasi kelemahan yang dimiliki.

Setelah memaparkan prinsip pembentukan karakter manusia secara menyeluruh, maka hasil akhir dari proses ini oleh Prof. Hamka diistilahkan dengan “Pribadi Tangguh”. Menurutnya, hasil dari proses kesadaran diri ini akan tertanam sifat-sifat dan sikap sebagai berikut:

1. Daya tarik

Ketertarikan jiwa orang lain yang dekat dengan pribadi yang bersangkutan sehingga timbul hubungan yang kekal dan tidak karena dipaksa atau terpaksa atau dengan sesuatu yang dibuat-buat. Orang lain tertarik kepada suatu pribadi dikarenakan budi yang tinggi, kesopanan, ilmu pengetahuan yang luas, kesanggupan menahan diri, kecerdasan, ketepatan menarik kesimpulan, pandai menjaga perasaan orang lain, dan mampu menenangkan diri.

2. Kecerdikan

Menurut Hamka, kecerdika diartikan sebagai kemampuan berpikir verbal dan logis dalam perilaku sosial. Dapat pula diartikan sebagai kecerdasan, banyak pengetahuan, pengalaman, kosakata bahasa, cepat tanggap, dan menguasai kondisi diri.

3. Tenggang rasa

Hamka menjelaskan makna tenggang rasa sebagai ungkapan empati terhadap orang lain yang sedang diajak berinteraksi. Tenggang rasa dapat pula diartikan sebagai rasa cinta kepada orang lain selayaknya ia mencintai dirinya sendiri, dan diwujudkan dengan perilaku sosial yang baik.

4. Keberanian

Pribadi yang berani adalah pribadi yang sanggup menghadapi segala kesulitan dan bahaya dengan tidak kehilangan akal, yakni dengan kesadaran penuh dan berlandaskan kepada pengetahuan atau ilmu. Keberanian menunjukkan indikasi kesanggupan manusia dalam menempuh hidup.

5. Bijaksana

Dalam pemaparan Hamka, pribadi seseorang dapat dikatakan bijaksana jika; tepat pendapatnya, berpikir jauh ke depan, baik tafsirannya, mampu membedakan baik dan buruk, memahami situasi dan kondisi yang dihadapi, mempunyai visi dan misi yang jelas, serta adil dalam menghadapi keputusan.

6. Berpikir positif

Manusia dengan pribadi tangguh dan punya pikiran positif adalah sosok yang memandang sesuatu dari segi yang baik (positif), sehingga selalu optimis dan memiliki komitmen yang kuat untuk maju dan berkembang guna melaksanakan dan meneruskan amanah Tuhan yang telah diberikan.

7. Tahu diri

Dalam istilah (bahasa) Arab, tahu diri adalah tawadhu’. Sedangkan makna tahu diri menurut Hamka adalah kesadaran atau insyaf perihal kedudukan (posisi) diri pribadi yang sebenarnya. Jadi, manusia tidak akan terlalu memandang ke atas dari apa yang dimilikinya, dan tidak pula terlalu memandang ke bawah kepada hal-hal yang telah dimilikinya.

8. Kesehatan jasmaniah

Hamka menyebutkan bahwa pribadi yang kuat adalah pribadi dengan fisik ataupun badan yang sehat. Artinya, pribadi yang kuat adalah manusia yang sadar untuk menjaga dan memanfaatkan apa yang telah dimilikinya secara optimal serta penuh dengan kasih dan saying.

9. Bijak

Bijak diartikan dengan kesanggupan untuk melahirkan (memaparkan) perasaan batin, ketangkasan berpendapat, dan sikap yang gembira.

10. Percaya diri

Seseorang dianggap sadar diri jika telah tertanam rasa percaya atas kekuatan yang dimiliki, terhadap akal pikiran, perasaan (intuisi) dan kemauan (kehendak). Percaya diri ialah fondasi kemerdekaan pribadi sekaligus titik awal kesuksesan diri. Percaya diri itulah yang menimbulkan kekuatan tabiat, akhlak, dan budi pekerti.

Proses pembentukan karakter manusia merupakan dinamika kompleks yang terdiri atas unsur diri (internal) dan lingkungan (eksternal), yang di antara keduanya terdapat saling keterkaitan dan pengaruh. Dari faktor internal tercipta pola pikir dan perilaku berdasarkan hal-hal yang diterima pribadi dari lingkungan sekitar. Hal ini akan berpengaruh terhadap terciptanya kesadaran diri. Artinya, dengan faktor internal yang positif dan baik akan mempercepat munculnya kesadaran diri pada manusia, sehingga manusia pun akan memulai proses pembentukan karakter. Jadi, faktor internal berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya mekanisme penemuan kesadaran diri.

Sedangkan faktor eksternal berperan terhadap pembentukan sistem nilai yang merupakan unsur pembentukan kesadaran diri dalam menemukan konsep diri yang kuat dalam pandangan diri pribadi. Dari sistem nilai yang terbangun, pribadi akan mempunyai kepercayaan diri yang kuat dalam berkehendak dan berbuat, sehingga mampu menangkap seluruh realitas materi dan non-materi. Ini terjadi karena di dalam sistem nilai tersebut terdapat potensi epistimologis berupa serapan panca indera, kekuatan akan, dan intuisi. Itulah yang akan melahirkan kesadaran pada manusia, yang pada akhirnya akan membantu proses pembentukan karakter manusia.

Terkait dengan peran kesadaran diri dalam proses pembentukan karakter manusia, maka unsur berpikir dan mengamati diri serta penilaian diri memberikan sebuah pemahaman dan masukan bagi pribadi berupa mekanisme kontrol dalam kehidupan. Sehingga manusia tidak akan melakukan sesuatu (berkehendak) di luar batas kemampuan dirinya dan akan berbuat sesuai dengan kehendak bebas yang dimilikinya. Dengan kesadaran diri itulah manusia menemukan karakteristik fitrah yang eksklusif pada dirinya.

Adanya kesadaran diri pada manusia menciptakan sebuah sikap sadar akan sebuah kepribadian watak atau karakter yang dimiliki, dan juga menyadari bakat yang ada pada diri serta bagaimana memanfaatkan bakat tersebut. Hal ini akan menjawab pertanyaan yang senantiasa di cari manusia dalam kaitannya dengan alasan bagi keberadaan hidupnya di bumi, yaitu menyadari bahwa pribadi masing-masing adalah unik (berbeda satu dengan yang lain) dengan suatu misi dalam kehidupan.

Sedangkan unsur menyempurnakan dan mempertahankan diri memberikan pengetahuan akan adanya aspek lain di dalam diri manusia yang juga menentukan pembentukan sebuah karakter, yakni aspek spiritual. Melalui upaya penyempurnaan dan pertahanan diri inilah pribadi mengetahui bahwa aspek kerohanian merupakan sesuatu yang terpenting. Sehingga manusia menghargai dengan benar unsur kesadaran dan bertindak kritis terhadap proses perkembangan dan penyucian jiwa.

Dengan terpenuhinya ketiga unsur kesadaran diri, yaitu berpikir dan mengamati diri, penilaian diri, serta menyempurnakan dan mempertahankan diri, maka secara umum didapatkan manfaat bagi manusia sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh M. Ali Shomali tentang manfaat kesadaran diri, yakni mencapai pintu gerbang bagi dunia non-materiil atau spiritual menuju kepada yang Khalik (Tuhan).

Mengutip pendapat Socrates; “Jika kamu ingin kenal siapa dirimu, maka kenalilah pribadimu sendiri”, maka dalam konteks ajaran Islam tentang kesadaran diri, Nabi Muhammad saw bersabda yang artinya: “Berbahagialah orang yang mementingkan menyelidiki cela diri dan tidak hanya menyelidiki keburukan orang lain”.

Dari pendapat Socrates dan hadi Nabi Muhammad saw di atas, dapat diketahui secara tersirat bahwa implikasi kesadaran diri dalam proses pembentukan karakter manusia adalah perasaan menyatu dan berkuasa penuh atas apa yang dimiliki tanpa melihat atau membanding-bandingkan apa yang di dapat dan yang telah ada dengan yang dimiliki orang lain

DAFTAR ISI DAN RESENSI JUEN

DAFTAR ISI

                                                                                                            Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................................

HALAMAN PENGSAHAN LEMBAGA PENDIDIKAN...................

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI......................................

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING.......................

HALAMAN PERNYATAAN..................................................................

MOTTO......................................................................................................

ABSTRAKSI..............................................................................................

KATA PENGANTAR..............................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................

BAB  I   PENDAHULUAN......................................................................

A.    Latar Belakang Masalah...................................................................

B.     Identifikasi Masalah.........................................................................

C.     Pembatasan Masalah........................................................................

D.    Rumusan Masalah............................................................................

E.     Tujuan Penelitian..............................................................................

F.      Manfaat Penulisan............................................................................

G.    Definisi Istilah..................................................................................

H.    Hipotesis .........................................................................................

BAB  II   KAJIAN TEORITIS KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN GURU PAK DITINJAU DARI KITAB NEHEMIA...................................................................

A.    Kitab Nehemia................................................................................

1.      Hubungan kedua Kitab (Ezra dan Nehemia)

2.      Latar Belakang Kitab Nehemia..................................................

3.      Penulis........................................................................................

4.      Nehemia dan Riwayat pelayanannya.........................................

5.      Survai.........................................................................................

6.      Penggenapan Dalam Perjanjian Baru.........................................

B.     Hakikat Karakter.............................................................................

1.      Pengertian Karakter

2.      Pengertian Pendidikan karakter.................................................

3.      Implementasi Pendidikan Karakter............................................

4.      Peran guru PAK dalam pembentukan Karakter ........................

C.     Hakikat kepemimpinan...................................................................

1.      Pengertian Kepemimpinan.......................................................

2.      Jenis-jenis Kepemimpinan........................................................

3.      Model karakteristik kepemimpinan yang diterapkan oleh Nehemia dalam kitab Nehemia      

a.       Pemimpin yang Rela berkorban.........................................

b.      Pemimpin yang mengandalkan doa dan bersandar kepada

Allah..................................................................................

c.       Pemimpin yang bertanggung jawab...................................

d.      Pemimpin yang Visioner....................................................

e.       Pemimpin yang memberikan teladan.................................

4.      Faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan guru PAK.

a.       Motifasi..............................................................................

b.      Menjadi hamba atau melayani yang lain............................

BAB  III   METODE PENELITIAN.......................................................

A.    Pengertian Metode Penelitian

B.     Instrument Penelitian ......................................................................

1.      Penentuan populasi dan sampel ................................................

a.       Populasi ...............................................................................

b.      Sampel .................................................................................

2.      Teknik pengumpulan data

a.       Metode obsevasi

b.      Metode wawancara

c.       Metode angket ....................................................................

C.     Lokasi Penelitian SMTK SETIA Jakarta

1.      Riwayat SMTK SETIA Jakarta

2.      Kepengurusan SMTK SETIA Jakarta

3.      Visi dan Misi SMTK SETIA Jakarta

4.      Aktivitas harian SMTK SETIA Jakarta

5.      Program di SMTK SETIA Jakarta.............................................

BAB  IV   HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................

A.    Deskripsi Data..................................................................................

1.      Karakter Kepemimpinan Guru PAK..........................................

2.      Karakter Kepemimpinan Nehemia.............................................

B.     

1.      

BAB  V   KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN.......................

A.    Kesimpulan......................................................................................

B.     Saran ...............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................

LAMPIRAN-LAMPIRAN.......................................................................

BIODATA..................................................................................................